Catatan Kritis Untuk RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Disampaikan oleh:
Antonius PS Wibowo (Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban)
RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) akhirnya disahkan sebagai RUU usul inisiatip DPR. Beberapa catatan perlu dikemukakan agar RUU tersebut nantinya menjadi undang-undang yang mampu menjawab tantangan nyata dan dapat diaplikasikan.
Non kriminalisasi korban
Pengarus-utamaan hak korban menjadi tantangan yang mendasar, sebab merupakan “roh” proses peradilan yang lebih memperhatikan korban. Hal ini perlu diwujudkan pada setiap tahap proses peradilan. Pengarus-utamaan dapat terwujud jika petugas memiliki pengetahuan dan kompetensi tentang perspektif korban termasuk hak-hak korban dalam regulasi.
Salah satu hak korban TPKS adalah hak untuk tidak dituntut secara hukum baik perdata maupun pidana atas kesaksian dan/atau laporan yang telah korban berikan kecuali jika kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan itikad baik. Jika terdapat tuntutan hukum terhadap korban atas kesaksian dan/atau laporan yang telah diberikannya, maka tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau berikan kesaksiannya telah diputus pengadilan dan berkekuatan hukum tetap (BHT). Ini diatur dalam pasal 10 UU No. 31/2014 untuk menjamin kelancaran proses hukum atas tindak pidana yang menjadikannya sebagai korban.
Berdasarkan pengalaman LPSK, tuntutan hukum terhadap korban tindak pidana merupakan salah satu bentuk serangan balik kepada korban yang bertujuan melemahkan posisi korban meraih keadilan. Jika terdapat relasi kuasa antara korban dan pelaku, serangan balik dapat berupa mutasi korban ke tempat kerja lain, ancaman tidak lulus sekolah/kuliah, ancaman melakukan pencemaran nama baik dan lain-lain. Kasus Baiq Nuril adalah contoh serangan balik berupa tuntutan hukum terhadap korban yang dipersalahkan melanggar UU ITE.
Sepanjang 2021 LPSK memberikan perlindungan kepada lebih dari 500 korban TPKS dan banyak diantara korban mendapatkan serangan balik dari pelaku. Untuk melindungi korban tersebut, LPSK memberikan perlindungan hukum. RUU TPKS perlu mempertegas hak korban untuk tidak dikriminalisasi. Ini dapat dilakukan antara lain dengan mencantumkan perumusan non kriminalisasi terhadap korban sebagai asas pengaturan (pasal 2 draft RUU). Prinsip non kriminalisasi terhadap korban telah diterapkan pada kasus human trafficking sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU No. 21/2007, dan ASEAN Convention against Trafficking in Persons, especially women and children (2015).
Kerahasiaan identitas korban
Korban mempunyai hak untuk dirahasiakan identitasnya. Ini diatur antara lain dalam Pasal 5 UU No. 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 17 UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 7 ayat (2) UU No. 40/1999 tentang Pers jo Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik juga menentukan wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Hak korban untuk dirahasiakan identitasnya sungguhlah penting. Ini untuk menghindari re-viktimisasi terhadap korban dan ketidak-nyamanan bahkan privacy korban, sebagaimana diatur dalam Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (1985). Apabila korban nya adalah Anak, pengungkapan identitas korban akan mengganggu keberlanjutan pendidikan Anak, bahkan mengakibatkan putus sekolah karena merasa malu.
Merujuk pengalaman LPSK, Anak korban TPKS yang identitasnya terungkap, merasa malu untuk meneruskan sekolah di tempat yang sama dan menginginkan pindah ke sekolah lain. Juga merasa malu untuk bergaul dengan teman-temannya. Diantara lebih dari 500 korban TPKS yang dilindungi LPSK sepanjang 2021 terdapat setidaknya 75 Anak yang menerima program perlindungan rehabilitasi psikososial LPSK. Program ini antara lain berupa fasilitasi keberlanjutan pendidikan.
RUU TPKS perlu mempertegas eksistensi prinsip kerahasiaan identitas korban. Ini dapat dilakukan antara lain dengan memasukan prinsip ini sebagai bagian integral dari asas kepentingan terbaik korban dalam penjelasan Pasal 2 draft RUU, atau memasukkannya secara ekplisit kedalam norma pasal 17 draft RUU. Prinsip kerahasiaan identitas korban perlu dipertegas kembali karena masih banyak ditemukan pelanggaran atas prinsip ini.
Restitusi
Restitusi atau ganti kerugian untuk korban TPKS diatur dalam Pasal 23 – 25 draft RUU. Diatur bahwa restitusi dapat dimohonkan sebelum atau sesudah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah BHT (berkekuatan hukum tetap). Restitusi yang dimohonkan sesudah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan yang BHT, perlu diatur lebih rinci antara lain tentang bagaimana teknis pelaksanaan pemeriksaan permohonan Restitusi tersebut.
Pengaturan yang lebih rinci tersebut diperlukan segera, dan perlu ada dalam draft RUU TPKS, mengingat Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang dimandatkan oleh Pasal 31 Peraturan Pemerintah (PP) No. 7/2018, hingga sekarang belum selesai dibuat. PERMA tersebut akan mengatur tentang teknis pelaksanaan pemeriksaan permohonan Restitusi yang diajukan sesudah terdakwa dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang BHT. Apabila pengaturan yang lebih rinci itu tidak ada dalam draft RUU TPKS, maka nantinya berpotensi mengurangi pemenuhan hak korban atas Restitusi.
Berdasarkan pengalaman LPSK, keberhasilan permohonan Restitusi paska terdakwa dinyatakan bersalah oleh putusan yang BHT, perlu terus diperjuangkan. Sepanjang tahun 2021, LPSK telah menfasilitasi permohonan Restitusi untuk ratusan orang korban tindak pidana.
Draft RUU TPKS mengatur bahwa pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelangnya untuk pembayaran Restitusi (Pasal 23 ayat 10). Konsep ini mencontoh Pasal 50 ayat (3) UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Berdasarkan pengalaman LPSK melindungi korban TPPO, Pasal 50 ayat (3) UU No. 21/2007, belum pernah dapat diimplementasikan.
Apabila penyitaan dan pelelangan harta kakayaan terpidana untuk pembayaran Restitusi korban TPKS ingin dapat diimplementasikan, sebaiknya Pasal 23 draft RUU TPKS mengamanatkan perlunya dibuat peraturan pelaksanaan, misalnya Peraturan Pemerintah, Peraturan LPSK, atau PERMA. Sebaiknya pula, dicantumkan batas waktu penyusunannya, agar dengan demikian dapat semakin mempercepat pemenuhan hak kepada korban.
Hal lain yang perlu dipertegas adalah nasib Restitusi dihubungkan dengan upaya hukum, baik itu Banding, Kasasi, maupun PK (Peninjauan Kembali). Dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) adalah hal yang lazim jika ada upaya hukum, baik diajukan oleh terdakwa/terpidana maupun oleh jaksa penuntut umum. Apabila terdapat Banding terhadap putusan Pengadilan Negeri yang memidana terdakwa dengan hukuman penjara dan membayar Restitusi kepada korban, apakah serta merta Restitusi tersebut ikut menjadi terbanding? Bagaimana mekanisme pemeriksaannya apabila Restitusi ikut menjadi terbanding? Berdasarkan pengalaman LPSK, adanya upaya hukum terhadap putusan pengadilan, memang mengurangi penikmatan korban atas Restitusi.
Draft RUU TPKS perlu mengatur tentang kriteria dan mekanisme penentuan pelaku/terpidana tidak mampu membayar Restitusi. Misalnya ditentukan bahwa kriterianya berdasarkan keputusan pejabat daerah setempat, dan mekanisme nya adalah berdasarkan permohonan jaksa atau LPSK. Atau mengamanatkan pembentukan peraturan pelaksanaan tentang hal ini. Apabila hal itu terlupakan, maka nantinya akan mengurangi penikmatan korban atas Restitusi.
Masih ada waktu untuk menyempurnakan draft RUU TPKS demi menjawab tantangan nyata yang ada. Sekaligus mengusahakan bahwa UU tersebut nantinya dapat diterapkan.
(Tulisan ini tidak merepresentasikan pendapat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban)
--------------------------------------