Warta Hukum

Perbudakan oleh Local Strongman Langkat

14 March 2022 , Ditulis Oleh : ni'matul hidayati


Perbudakan oleh Local Strongman Langkat

Edwin Partogi Pasaribu, Wakil Ketua LPSK

Co-Founder Public Virtue Institute

 

Baru-baru ini publik dikejutkan oleh temuan adanya kerangkeng manusia di rumah Terbit Rencana Parangin-angin (TRP), Bupati Langkat, Sumatera Utara. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menduga ada praktik perbudakan di sana.

Terungkapnya kerangkeng manusia ini berawal ketika KPK menyambangi rumah Bupati tersebut dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). Lebih dari 40 orang ditemukan dalam 2 kerangkeng besi yang terkunci itu. Polda Sumatera Utara menyebutkan kerangkeng manusia itu merupakan tempat rehabilitasi pecandu narkotika, namun tak berijin.

Apa yang sebenarnya terjadi? Benarkan kerangkeng itu sekadar tempat rehabilitasi? Benarkah para tahanannya adalah pecandu narkotika? Mengapa seorang pejabat daerah membuat rutan ilegal, apa motifnya? Saya akan mengulas masalah ini berdasarkan temuan-temuan LPSK.


Bukan Tempat Rehabilitasi

Berdasarkan informasi yang LPSK peroleh, tidak ada aktivitas rehabilitasi sebagai mana lazimnya bagi pecandu narkotika. Alasan paling sederhana adalah karena tidak semua ‘tahanan’ merupakan pecandu narkoba. LPSK menemukan fakta orang-orang dalam sel itu juga berlatar masalah judi, mabuk, selingkuh, pencurian dan masalah-masalah sosial lainnya, termasuk kemungkinan adanya masalah dengan TRP.

Jika pun dianggap rehabilitasi, model pembinaan yang dilakukan ternyata tidak dilengkapi metode yang lazim dipakai dalam penanganan kecanduan orang kepada narkotika. Ketika rehab, pecandu akan melalui detoksifikasi, di mana pecandu diperiksa seluruh kesehatannya baik fisik, mental dan medis oleh dokter terlatih yang memutuskan apakah pecandu perlu diberikan obat tertentu untuk mengurangi gejala putus zat (sakau) yang diderita.

Pecandu biasanya menjalani berbagai program seperti therapeutic communities (TC). Program ini mempunyai sembilan elemen: partisipasi aktif, feedback dari keanggotaan, role modeling, format kolektif perubahan pribadi, sharing norma dan nilai-nilai, struktur dan sistem, komunikasi terbuka, hubungan kelompok dan penggunaan terminologi unik. Ada pula program 12 langkah, di mana  pecandu dimotivasi untuk menerapkan 12 langkah ini dalam kehidupan sehari-hari, diimbangi oleh pendekatan keagamaan dan lain-lain. Di tahap lebih lanjut, pecandu diberikan kegiatan sehari-hari sesuai minat dan bakat. Pecandu dapat kembali ke sekolah atau tempat kerja di bawah pengawasan.

Bila merujuk Standar Internasional UNODC-WHO untuk Pengobatan Gangguan Penyalahgunaan Napza terdapat prinsip-prinsip rehabilitasi narkotika. Misalnya, pengobatan/perawatan harus tersedia, dapat diakses, menarik, dan disertai jaminan standar etik pelayanan pengobatan yang menghormati HAM, tidak menggunakan tindakan yang merendahkan/mempermalukan, memiliki jaminan untuk mengundurkan diri setiap saat, perawatan korban harus didasarkan pada bukti ilmiah dan lainnya. Tentu kerangkeng manusia itu jauh dari standar rehabilitasi organisasi PBB tersebut.


Pelanggaran Serius HAM

Penelusuran LPSK atas kerangkeng manusia itu menguatkan dugaan terjadinya pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, yaitu perampasan kemerdekaan, perdagangan orang, penyiksaan dan pembiaran.

Sel tersebut juga tidak layak huni. Dua sel besi yang ditemukan di lokasi memiliki ukuran sekitar 5x6 meter persegi. Satu sel bisa dihuni lebih dari 20 orang. Terdapat dua panggung papan yang digunakan sebagai tempat tidur dan terdapat tempat MCK serta tempat cuci terbuka di ruangan tersebut hanya dibatasi tembok setinggi sekitar 1 meter. Dinding terlihat kusam tak terawat.

Mereka diperlakukan sebagai tahanan yang tinggal di kerangkeng dalam keadaan terkunci. Mereka hanya keluar sel bila apel pagi dan bekerja di pabrik pengelolaan sawit. Berbeda dari rutan/lapas negara yang membolehkan kunjungan pada setiap harinya, di waktu-waktu tertentu, para penghuni sel tidak boleh dikunjungi keluarga selama tiga sampai enam bulan pertama. Kunjungan keluarga hanya boleh dilakukan di hari Minggu dan Hari Besar.

Mereka tak diperbolehkan membawa alat komunikasi. Kegiatan keagamaan hanya dapat dilakukan dalam sel, termasuk tidak boleh ibadah Jum’at, Minggu atau hari besar keagamaan di luar sel.

Istilah-istilah yang digunakan mirip dengan istilah yang terdapat dalam rutan/lapas negara, seperti, piket malam, piket cuci piring, piket kereng (sel), kereng (sel), palkam (kepala kamar), tahanan dan uang tamu serta joker (tamping).

Lebih buruk lagi, mereka juga diminta membuat pernyataan tentang tidak akan menuntut bila sakit atau meninggal. Sekalipun keautentikan dari surat pernyataan itu masih memerlukan pembuktian, LPSK mendapati surat berisi pernyataan mereka tidak akan pernah minta dipulangkan selama satu setengah tahun (terdapat juga tahanan yang sudah ditahan selama 4 tahun) yang ditanda tangani oleh para keluarga, penanggung jawab sel dan saksi.

Dalam TPPO, persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tidak menghapus unsur kejahatannya. Bahkan dalih rehabilitasi dapat dimaknai sebagai penipuan (bujuk rayu) untuk merekrut korban.

Ada juga klausul bahwa keluarga tidak akan menuntut jika korban sakit atau meninggal dunia. Klausul ini melanggar hukum, memberi pengelola kuasa penuh untuk memperlakukan tahanan di luar batas. LPSK memperoleh informasi adanya dua kematian tak wajar. Ini perlu ditindak lanjuti dengan proses hukum.

Mereka dipekerjakan tanpa upah. Sejak pagi hingga sore hari dipekerjakan di pabrik pengolahan sawit milik TRP tanpa upah. Bila TRP miliki 200 pekerja yang diupah, maka ia mendapat bonus sejumlah pekerja gratis sebanyak penghuni kerangkeng. Praktik perbudakan semacam ini telah terjadi sejak doeloe. Dipekerjakan tanpa upah merupakan bentuk eksploitasi dalam TPPO.

Beberapa opini yang berkembang terkait klaim kemanfaatan sel tersebut bagi masyarakat patut diragukan. Klaim bahwa sel tersebut merupakan tempat rehabilitasi pecandu narkoba yang tak dipungut biaya, jauh panggang dari api. Seperti uraian di atas, kerangkeng itu tak memenuhi syarat bagi tempat rehabilitasi, karena juga dihuni oleh bukan pecandu narkotika dan tidak ada kegiatan rehabilitasi. Sebaliknya, temuan LPSK mengindikasikan di tempat itu terjadi praktik semacam perbudakan, sebuah cara mempekerjakan manusia yang dilengkapi cara-cara penghukuman dan perlakuan yang keji, tak manusiawi, dan merendahkan martabat.

Selain itu dari dokumen yang LPSK temukan, terdapat petunjuk adanya transaksi yang berlangsung. Catatan pembayaran termasuk uang tamu dalam operasional rutan ilegal itu tentu memerlukan pendalaman proses hukum. Transaksional apakah yang sebenarnya berlangsung dalam kerangkeng tersebut?

Terdapat juga petunjuk orang dalam rutan ilegal itu tidak hanya berasal dari Langkat, beberapa di antara berasal dari luar Kabupaten Langkat. Siapa mereka dan mengapa mereka masuk kerangkeng tentu proses hukum yang bisa mengungkapnya.

Pertanyaan lain yang belum terjawab yakni, dugaan adanya sel ke 3. Keberadaan sel ke 3 ini LPSK dapatkan dari catatan dalam lokasi kerangkeng. Catatan itu jumlah menyebut sejumlah nama. Di mana sel ke 3 itu? Apaka masih beroperasi? Tentu informasi ini masih perlu ditindak lanjuti polisi.

Local Strongman

Berdasarkan informasi, praktik kerangkeng manusia ini sudah berlangsung selama 10 tahun. Tentu bukan waktu yang sebentar. Apakah keberadaan kerangkeng ini tidak diketahui instansi berwenang? Rasanya mustahil.  Adakah terjadi pembiaran terstruktur?

TRP bukan orang biasa. TRP merupakan bagian dari ormas yang berpengaruh di Sumut dan Langkat. Setidaknya ada 2 ormas di mana TRP menjadi aktor penting di dalamnya. TRP seorang pengusaha, bahkan berdasarkan informasi e-LHKPN KPK, TRP menjadi salah satu dari 10 kepala daerah terkaya di tahun 2020 (kompas.com, 02/02/2022).

Dari informasi yang LPSK peroleh terdapat kunjungan dokter puskesmas rutin di kerangkeng itu dari tahun 2016–2019. Terdapat informasi kedatangan sejumlah instansi ke kerangkeng tersebut sebelum kasus ini menarik perhatian publik.

Bila kerangkeng manusia itu di maksudkan sebagai tempat rehabilitasi, mungkin mudah bagi TRP selaku pejabat daerah, bagai membalikkan telapak tangan untuk mendapat ijin tersebut.

Sikap yang berkembang dari beberapa mantan tahanan dan keluarganya yang seolah tidak mengalami hal-hal yang merugikan dari peristiwa tersebut, dapat dipahami bila kita merujuk pada posisi pelaku. Pelaku memiliki basis massa dari ormas yang digawanginya, miliki kekuatan harta, dan pejabat daerah sejak 2014, sebelumnya Ketua DPRD Langkat.

Dengan profil tersebut di atas, TRP layak disebut sebagai local strongman, meminjam istilah Joel S. Migdal. Local strongman ini merupakan orang kaya yang melakukan kontrol sosial. Menempatkan diri atau anggota keluarganya pada sejumlah jabatan penting demi menjamin alokasi sumber-sumber daya berjalan sesuai dengan aturan mereka sendiri ketimbang menurut aturan-aturan peraturan perundang-undangan (Joel S. Migdal, 2001).

Sosok local strongman dikenal memiliki karakter yang kuat, pemberani dan luwes dalam pergaulan sehingga memiliki pengaruh di dalam masyarakat. Eksistensinya local strongman sangat berkaitan pula dengan lemahnya institusionalisasi dan penegakan hukum secara adil di masyarakat. Bertemunya realitas sosiso-kultural masyarakat dengan struktur kekuasaan negara yang saling mengakomodasi unsur-unsur premanisme membuat intensitas strongman memiliki elastisitas, kelenturan sehingga dapat hadir di berbagai posisi kulutral dan struktural (Abdur Rozaki, 2009).

Menurut Vedi R. Hadiz (2010), fenomena “orang kuat lokal” sebagai mesin politik lokal yang korup dan daya tahan beberapa kelompok otoritarian di kawasan Asia Tenggara yang sedang mengalami reformasi politik seperti Filipina, Thailand dan Indonesia. Justru melalui slogan tata pemerintahan yang baik, desentralisasi memberikan jalan bagi kebangkitan dan konsolidasi “orang kuat lokal”. Secata nyata desentralisasi telah dibajak oleh kepentingan predatoris atau penghisap lokal. Demokrasi yang lahirkan desentralisasi, harus miliki mekanisme saring agar tidak lahirkan local strongman baru yang memakan masyarakatnya sendiri.

 

Penegakan Hukum

Uniknya, hingga 4 Februari 2022, publik minim informasi tentang langkah hukum apa yang telah atau akan dilakukan kepolisian. Polisi tidak boleh terpengaruh oleh posisi pelaku. Penegakan hukum harus tetap bersandar pada rumusan undang-undang untuk menemukan ada tidaknya tidak pidana di rutan ilegal itu. Kurang tegasnya proses hukum dari temuan kerangkeng ini dapat menambah ke tidak yakinan saksi/korban memberikan keterangan penting dalam mengungkap perkara, mengingat risiko yang akan mereka terima.

Proses hukum harus dapat menunjukkan eksistensi dengan tidak dipengaruhi oleh status pelaku. Sebagai mana sering disampaikan Kapolri penegakan hukum harus dilakukan secara tegas, tidak pandang bulu dan profesional serta berintegritas. Bila saksi/korban terancam keselamatan jiwanya, tentu menjadi tugas LPSK memberikan perlindungan.

Dari temuan rutan ilegal Bupati Langkat ini maka dapat dikatakan bahwa perbudakan manusia terjadi bukan hanya karena modus operandi eksploitasi berbasis keuntungan material, tetapi juga karena mereka yang tahu dan berwenang tak mau mengambil tindakan akibat pengaruh dan kuasa local strongman tersebut.





  Komentar

Related Post

140 Pendaftar Lolos Seleksi Administrasi Calon Anggota LPSK 2024-2029

JAKARTA – Sebanyak 140 orang dinyatakan lolos seleksi…

25th September, 2023

Salam Satu Hati - LPSK dan Universitas Kristen Satya Wacana

Salam Satu Hati.Demikian kalimat pembuka dari Rektor…

5th September, 2023

Pemberantasan TPPO Tak Cukup Dengan Koordinasi Ala Gugus Tugas

Angka korban perdagangan orang belum menunjukkan penurunan.…

13th August, 2023